Minggu, 24 April 2016

Pentingnya pendidikan humor

Kemampuan melucu mesti diajarkan di sekolah sejak dini, secara lebih serius. Melucu adalah basic survival skills bagi anak-anak sekarang dlm menghadapi hidup yg makin keras, penuh tantangan & seringkali membosankan.

Boleh mereka dapat nilai 100 untuk matematika, fisika, UN lulus secara gemilang. Tapi kalau ia sampai kehilangan selera humor, apa artinya? Kasihan giginya. Pasti bau. Sepanjang hari mulutnya terkunci. Cemberut. Tentu ada yg tidak beres.

Belum lama, kami diskusi tentang dua bersaudara anak seorang mantan menteri -tampaknya super kaya raya- yg ribut-hebat gara-gara si adik tidak rela mobilnya dipinjam oleh kakak, sekedar untuk foto dg sang pacar. Mobil kakak dihajar oleh si adik, dengan mobil bapaknya, terjadi kejar-kejaran, memakan (bener nih?) banyak korban dan akhirnya mobil adik ganti dihancurin kakaknya yg marah, sewot, naik pitam. Alangkah tragis, mobil-mobil mewah itu hancur berantakan gara-gara kakak beradik kurang memiliki selera humor. Sesuatu yg mestinya ditanggapi secara rileks, jenaka, akhirnya menjadi berita aib ke seluruh penjuru dunia. Keluarga itu mampu membeli segalanya, tapi anak-anak mereka kurang memiliki rasa humor. Alangkah sedihnya? Saya harap tidak begitu.
Memang ada banyak meme, cerita-cerita lucu, kisah yg mentertawakan kedunguan orang lain beredar di sosial media. Tapi kemampuan tertawa sedikit berbeda dg kemampuan mentertawakan keadaan, diri sendiri atau musibah yg sebenarnya tidak perlu terjadi. Humor menjadi mekanisme pertahanan diri dari tekanan mental atas harapan-harapan yg seringkali tak terwujud.

Pertanyaan lanjutan yg agak kurang lucu akhirnya harus saya jawab dg serius. Kalau manusia diciptakan segambar & serupa dengan Allah, merupakan peta Allah. Apakah Tuhan juga sering melucu?

Sambil menikmati komposisi piano solo "Orfeo ed Euridice". Kisah Orpehus yang mampu mempesona mahkluk hidup di bumi, bahkan batu-batu sekalipun akan berdendang & menari, mendengar keindahan permainan musik Orpheus. Dengan pesona musiknya yang memukau itu pula, Orpheus ingin membangkitkan Euridice, istrinya dari jurang kematian akibat hidupnya yang singkat dipatuk ular berbisa. Apakah usaha Orpheus berhasil? Alangkah memilukan! Keindahan musik Orpeheus tek lain adalah tragedi.

Kemampuan melucu mesti diajarkan di sekolah sejak dini, secara lebih serius. Melucu adalah basic survival skills bagi anak-anak sekarang dlm menghadapi hidup yg makin keras, penuh tantangan & seringkali membosankan.

Boleh mereka dapat nilai 100 untuk matematika, fisika, UN lulus secara gemilang. Tapi kalau ia sampai kehilangan selera humor, apa artinya? Kasihan giginya. Pasti bau. Sepanjang hari mulutnya terkunci. Cemberut. Tentu ada yg tidak beres.

Belum lama, kami diskusi tentang dua bersaudara anak seorang mantan menteri -tampaknya super kaya raya- yg ribut-hebat gara-gara si adik tidak rela mobilnya dipinjam oleh kakak, sekedar untuk foto dg sang pacar. Mobil kakak dihajar oleh si adik, dengan mobil bapaknya, terjadi kejar-kejaran, memakan (bener nih?) banyak korban dan akhirnya mobil adik ganti dihancurin kakaknya yg marah, sewot, naik pitam. Alangkah tragis, mobil-mobil mewah itu hancur berantakan gara-gara kakak beradik kurang memiliki selera humor. Sesuatu yg mestinya ditanggapi secara rileks, jenaka, akhirnya menjadi berita aib ke seluruh penjuru dunia. Keluarga itu mampu membeli segalanya, tapi anak-anak mereka kurang memiliki rasa humor. Alangkah sedihnya? Saya harap tidak begitu.
Memang ada banyak meme, cerita-cerita lucu, kisah yg mentertawakan kedunguan orang lain beredar di sosial media. Tapi kemampuan tertawa sedikit berbeda dg kemampuan mentertawakan keadaan, diri sendiri atau musibah yg sebenarnya tidak perlu terjadi. Humor menjadi mekanisme pertahanan diri dari tekanan mental atas harapan-harapan yg seringkali tak terwujud.

Pertanyaan lanjutan yg agak kurang lucu akhirnya harus saya jawab dg serius. Kalau manusia diciptakan segambar & serupa dengan Allah, merupakan peta Allah. Apakah Tuhan juga sering melucu?
Keindahan sendiri di mata Nietzsche yg pesimistis adalah isyarat kengerian pada kehidupan sekaligus penghiburan baginya. Mungkin karena itu pula, Jaya Suprana banyak menulis komposisi cantik berjudul "Untuk Ayla" yang tak lain nama istrinya. Ia rupanya tak ingin meratapi kepergian Camelia spt Ebiet G Ade atau Karmila oleh Farid Hardja, maupun kepergian Bang Thoyib. Ide bahwa keindahan harus ditangkupkan rapat-rapat dengan kengerian, kepedihan atau tragedi, sebenarnya bukan hal baru. Romeo - Yuliet, Roro Mendut - Pranacitra, Retno Dumilah VS Sutowijaya, Keelokan pertapa Ratu Kalinyamat yg penuh banjir air mata, kisah percintaan Ratu Kidul & Panembahan Senopati adalah sedikit kisah dimana keindahan berkelindan rapat dg tragedi. Itu pula yang hendak disampaikan Nietzsche dalam Birth of Tragedy bahwa peradaban mestinya mendapatkan faedah besar dari ketegangan Apolo si dewa musik dg Dyonisus si dewa patung. Namun justru dari tragedi itulah, menurut Mark Twain, akan muncul komedi.

Tragedi di masa lalu + waktu, akan berubah menjadi kisah menyenangkan bahkan sanggup membangkitkan gelak tawa. Perasan lega & terhibur. Tragedi yg dianggap ending dari segala sesuatu, bagi si petualangan tengil itu justru merupakan amunisi atau sumber keceriaan. Tak ada lelucon yang lahir tanpa tragedi.
Teman saya menceritakan kisah dosen seniornya yg pintar, sangat berpengaruh, memiliki dedikasi tinggi dan amat disegani di dunia Chemical Engineering, namun gagal meraih predikat Profesor gara-gara keterlibatan protes 1978 & alasan adminsitrasi. " Siapa sarjana teknik kimia yang sanggup menguji dia? " ujar sebuah berita di socmed. Namun daya hidupnya yg tinggi tercermin terutama dari kemampuannya utk melihat sisi komedik dari suatu penderitaan atau tragedi.

Jadi apa bedanya tragedi & komedi? Tragedi adalah ketika jari kita putus terkena gergaji, komedi adalah, justru tubuh kita yang jatuh masuk ke mesin gergaji.

Orfeo et Eurydice: Mélodie for Piano Solo by Christoph Willibald Gluck https://open.spotify.com/track/3DnLGuX4YU3PGein8vo5Zt